Sumber: salafiyah.or.id, 12-07-2008
* Gitar Bertuah dan Segebok Naskah *
Oleh: Abdurrasyid C. Ridlo
Gemuruh tepuk tangan ribuan penonton yang menjubeli halaman kampus IAI Ibrahimy, Kamis siang, di ujung Januari kemarin, benar-benar menyihir suasana menjadi gempita. Teriakan dan siutan beruntun pun menggelayuti mendung yang sepertinya muncul hanya khusus menaungi jamaah Peringatan 1 Muharram 1429.
Begitu MC yang dipandu M. Hanif, M.Pd.I memanggil Pengasuh Pesantren Sukorejo untuk naik pentas, sontak gemuruh pun mulai menggema.
Untuk apa Kiai Fawaid dipanggil naik pentas, memberikan wejangan atau memimpin doa sebagaimana biasanya? Ternyata tidak untuk kedua-duanya.
Pria yang mulai mengasuh pesantren semenjak 1990 itu ternyata naik pentas untuk menyerahkan santunan kepada para yatim piatu dan janda-janda tua, juga untuk menerima penyerahan gitar bersejarah milik sang maestro dangdut Rhoma Irama, untuk dipergunakan group gambus Al Badar.
Kok bisa-bisanya Al Badar yang baru seumur tebu itu mendapatkan gitar yang hanya satu-satunya di dunia itu. Jangan-jangan bukan milik si raja dangdut.
Andai saja gitar itu tidak berbentuk huruf "SR", mungkin orang akan mengira itu hanya bohong-bohongan. Tapi gitar yang sudah dua kali mendampingi tuannya dalam soundtrack film itu memang bukan duplikat apalagi palsu. Bahkan, menurut Rhoma, pemesanan dan pembuatan gitar antik itu memerlukan waktu berbulan-bulan, karena membutuhkan ketelitian dan kecermatan ekstra. Tak heran bila dentingan senarnya benar-benar melodius.
"Itu bukan pemberian atau hadiah cuma-cuma dari Bang Haji. Ada sejarahnya yang panjang," tutur Kiai Fawaid mengawali kisahnya seputar diterimanya gitar bersejarah itu.
"Semua itu berawal sekitar awal tahun 2007. Ketika itu Bang Haji menyampaikan kepada saya akan mendokumentasikan seluruh lagu yang dia ciptakan dan nyanyikan. Di samping untuk kepentingan museum juga untuk akses dan content website yang dibuat Rhoma: www.rajadangdut.net. Kebetulan saya sebagai salah satu kolektor lagu-lagunya. Sebenarnya banyak kolektor lagu-lagu Rhoma, termasuk dua orang berkebangsaan asing. Satu berkebangsaan Amerika dan yang satunya lagi warga Jepang, yaitu William Ferederick dan Nakata. Namun koleksi kedua kolektor itu tidak selengkap yang saya miliki. Mereka hanya mampu mengoleksi mulai pertengahan 70-an, sementara saya mulai tahun 60-an, di mana Bang Haji masih terlibat dalam album-album pop. Itu sangat jauh sebelum Soneta dibentuk pada tahun 1973. "Bahkan ketika Bang Haji baru kali pertama masuk dapur rekaman pun saya punya," tambahnya.
Atas permintaan Rhoma itu Kiai Fawaid kemudian menugaskan para khadamnya untuk mendata, mengetik, mentranskrip, menyeleksi hingga menglasifikasi setiap lagu-lagu Rhoma yang dimilikinya, mulai dari yang bentuk piringan hitam hingga compact disk. Menyeleksi dan mengklasifikasi memang bukan pekerjaan mudah. Pekerjaan super ekstra itu sampai memakan waktu berbulan-bulan.
Pada penghujung 2007 seluruh file dan naskah sudah rampung dan diserahkan kepada Bang Haji saat Kiai Fawaid berkesempatan ke Jakarta. "Tapi saya tidak mau kalau kerja saya itu cuma-cuma. Harus ada imbalannya. Saya bilang pada Bang Haji bahwa untuk penyerahan segebok naskah dan file itu harus ada maharnya. Bang Haji tanya apa yang saya minta. Ia sempat menawarkan beberapa alat, antara lain keyboard. Saya teringat Al Badar. Akhirnya saya coba minta gitar yang cukup unik itu. Saya mengira benda itu tidak akan diberikan atau mungkin saya disuruh memilih yang lain mengingat gitar itu lain dari yang lain. Tapi di luar dugaan, Bang Haji bertanya, apa saya mau pada gitar itu? dan kebetulan gitar 'SR' itu memang masih tersimpan rapi di tempat alat musik pribadinya. Sedangkan beberapa alat musik yang lain sudah banyak diberikan pada orang atau grup musik yang lain. Khusus yang satu itu memang akan dijadikan benda museum saat sudah tidak dipakai. Karena memang gitar itu yang saya inginkan, spontan saja saya jawab mau," kenangnya.
Memang kesenangan dan kegemaran Kiai Fawaid pada syair-syair Rhoma tidak seperti orang kebanyakan. Jika kita mulai menyenangi atau mengidolakan seseorang, mungkin baru terjadi mulai usia kita beranjak remaja. Sedangkan Kiai Fawaid sudah mulai sejak ia masih berusia tiga tahunan, sebuah usia yang sebenarnya masih balita. Bahkan menurut Nyi Mut, pengasuh Kiai Fawaid sewaktu kecil, pada saat-saat usia sekitar 2 tahun abah Neng Sari itu sudah mulai menirukan lagu-lagu Rhoma dan lagu-lagu kasidah. "Kalau orang lain kenal Rhoma Irama sudah beranjak remaja, saya justru sejak lahir sudah kenal Bang Haji," selorohnya yang menggambarkan betapa kecintaannya pada suami Rica Rachim itu sudah mendarah-daging.
Apa sebenarnya yang membuat putra Kiai As'ad itu kesengsem pada Bang Haji? Pada awalnya memang subtektif, tetapi jauh di balik itu ternyata lirik-lirik Rhoma benar-benar Islami, nasionalistik, demokratis dan merakyat. Bahkan dari saking kentalnya nuansa dakwah dalam hampir setiap lagunya, Gus Dur pernah menasehatinya agar tidak berdakwah lewat musik. Selain itu konsistensi antara syair dan sikapnya juga sepadan. Belum lagi aransmen dari setiap lagu Soneta memang diakui dunia sebagai aransmen yang brillian. Tak heran bila hingga saat ini mahkota "raja dangdut'"belum ada yang mampu merebut dari singgasananya.
0 komentar:
Posting Komentar