Assalamu’alaikum War. Wab.
Para santri dan alumni yang saya cintai, baru saja
kita memeringati sekaligus merayakan Idul Adha atau Qurban. Adha dan
Qurban merupakan istilah yang saling mengait. Adanya Adha (sembelihan)
karena adanya hewan yang dikurbankan; sapi atau kambing. Ia merupakan
momentum sejarah untuk menghayati makna di balik peristiwa besar antara
Ibrahim dan Ismail di satu pihak dan Ibrahim-Ismail dan syetan di pihak
lain.
Ibrahim adalah sosok orang tua yang dengan penuh
keikhlasan serta melawan kemanusiaannya menjalankan titah Sang Azza agar
menyembelih si putra tunggal tersayang bersama Hajar. Rasa cinta dan
sayangnya kepada Ismail mengalahkan besarnya gunung dan luasnya
samudera. Ini bias dimaklumi karena Ismail adalah putera yang terlahir
justeru ketika usianya sudah mencapai senja.
Meski demikian besar rasa cinta dan sayangnya kepada Ismail sebagai
orang tua, ia harus pasrah untuk memenggal lehernya demi perintah Allah
swt.
Ismail pun bukan figure anak sembarangan. Dengan
penuh ikhlas pula ia merelakan sang leher yang selama ini menopang tegak
kepalanya terpisah dari raganya. Ini pun demi sebuah harapan sang ayah
untuk meraih ridho Ilahi. Bahkan ia sendiri yang menyilakan sang ayah
agar menebas lehernya untuk sebuah persembahan kepada Sang Penguasa.
Pada scene yang lain muncul si laknat syetan dengan
gagah-pongahnya sekaligus ceriwis bibirnya berupaya menghancurkan niat
dan ikhlas keduanya dengan mengurungkan episode penyembelihan. “Engkau
ini orang tua apa, tega-teganya mau menyembelih anak sendiri. Sadis!
Kanibal kau ini!” Begitu kira-kira syetan mengenyahkan semangat Ibrahim.
Namun Ibrahim dan Ismail bergeming. Ia mafhum
syetan memiliki seribu satu cara menggoda teguh iman seseorang. “Biar
anjing menggonggong, kafilah tetap berlalu.” Tekad Ibrahim dan Ismail
tak goyah. Dan ending dari semua itu adalah terukirnya batu pualam
sejarah yang ditulis tinta emas: pengorbanan dan keikhlasan.
Peristiwa tersebut sangat relevan jika kita
kontekkan dengan kehidupan santri. Ada orang tua dan santri di satu
pihak, dan ada godaan di pihak lain.
Dengan susah payah tak kenal lelah memeras keringat
membanting tulang, orang tua santri di rumah berjuang dan berkorban
dengan penuh keikhlasan mencari nafkah bersama segebok harapan untuk
sang anak tercinta yang tengah mencari ilmu dui pondok pesantren.
Si santri pun (seharusnya) dengan penuh keikhlasan
mencari ilmu dan menjalankan aturan-aturan pesantren guna tercapainya
ilmu yang manfaat dan barokah. Bermanfaat kepada dirinya, kepada
keluarga, lingkungan, bangsa dan Negara serta agamanya.
Godaan untuk melanggar aturan pesantren seperti
bolos sekolah, tidak sholat berjamaah, menggunakan handphone dan
sebagainya adalah syetan-syetan energial yang terus berseliweran di
benak mereka. Maka lawanlah sekuat tenaga dan jiwa. Insya Allah manusia
yang paripurna akan disandang. Amin.
Wassalamu’alaikum War. Wab.
0 komentar:
Posting Komentar