“Saya khawatir, ketika memperbaiki rumah tersebut, ada barang-barang pesantren yang terpakai untuk pembangunannya,”
Begitulah
Kiai As’ad mengapa beliau dulu rumahnya amat sederhana dan sengaja
tidak direhabilitasi. Bukan saja karena rumah tersebut mempunyai nilai
tersendiri (karena dibangun saat ia belum kawin dengan
hasil jerih payah sendiri) tapi juga untuk menghindari barang-barang
pesantren terpakai untuk pembangunan rumahnya. Ini menunjukkan sikap
zuhud dan wara’nya Kiai As’ad.
Wara’ adalah sikap hati-hati dengan meninggalkan sesuatu yang syubhat dan tidak bermanfaat. Wara’
merupakan kestabilan hati, ketika sedang menggebu-gebu mengerjakan
sebuah perbuatan, sehingga mampu membedakan antara yang benar dan yang
salah. Inti wara’ sesungguhnya meninggalkan sesuatu yang masih
diragukan statusnya kemudian memilih sesuatu yang tidak diragukan lagi
kebenarannya. Wara’, suatu sikap yang senantiasa baik dan penuh prasangka baik (husnuzzhan) kepada orang lain. Agar kita menjadi wara’, kita harus menjaga sikap dari perbuatan syubhat
dan berpakaian. Dalam berpakaian sangat dianjurkan tidak hanya menutup
aurat, sebagaimana dalam ketentuan fiqh tapi lebih dari itu. Misalnya,
kalau laki-laki tidak hanya menutup aurat antara pusar dan lutut tapi
juga sekujur badan dan berkopiah
Wara’ merupakan permulaan zuhud. Orang yang zuhud tidak akan merasa bangga dengan kenikmatan dunia dan tidak akan pernah mengeluh karena kehilangan dunia. Wara’ dan zuhud termasuk maqam
atau tahapan jalan yang harus dilalui oleh seorang sufi. Nabi berpesan,
agar kita mendekati orang zuhud dan berbicara. Karena dia akan
mengajarkan ilmu hikmah.
0 komentar:
Posting Komentar