Kamis, 01 Maret 2012

Menjaga Sikap Wara’ dan Zuhud


“Saya khawatir, ketika memperbaiki rumah tersebut, ada barang-barang pesantren yang terpakai untuk pembangunannya,”
Begitulah Kiai As’ad mengapa beliau dulu rumahnya amat sederhana dan sengaja tidak direhabilitasi. Bukan saja karena rumah tersebut mempunyai nilai tersendiri (karena dibangun saat ia belum kawin dengan hasil jerih payah sendiri) tapi juga untuk menghindari barang-barang pesantren terpakai untuk pembangunan rumahnya. Ini menunjukkan sikap zuhud dan wara’nya Kiai As’ad.
Wara’ adalah sikap hati-hati dengan meninggalkan sesuatu yang syubhat dan tidak bermanfaat. Wara’ merupakan kestabilan hati, ketika sedang menggebu-gebu mengerjakan sebuah perbuatan, sehingga mampu membedakan antara yang benar dan yang salah. Inti wara’ sesungguhnya meninggalkan sesuatu yang masih diragukan statusnya kemudian memilih sesuatu yang tidak diragukan lagi kebenarannya. Wara’, suatu sikap yang senantiasa baik dan penuh prasangka baik (husnuzzhan) kepada orang lain. Agar kita menjadi wara’, kita harus menjaga sikap dari perbuatan syubhat dan berpakaian. Dalam berpakaian sangat dianjurkan tidak hanya menutup aurat, sebagaimana dalam ketentuan fiqh tapi lebih dari itu. Misalnya, kalau laki-laki tidak hanya menutup aurat antara pusar dan lutut tapi juga sekujur badan dan berkopiah
Wara’ merupakan permulaan zuhud. Orang yang zuhud tidak akan merasa bangga dengan kenikmatan dunia dan tidak akan pernah mengeluh karena kehilangan dunia. Wara’ dan zuhud termasuk maqam atau tahapan jalan yang harus dilalui oleh seorang sufi. Nabi berpesan, agar kita mendekati orang zuhud dan berbicara. Karena dia akan mengajarkan ilmu hikmah.

0 komentar:

Posting Komentar

Share