Minggu, 13 Mei 2012

Surat Imajiner buat Sang Murabbi


Masih kuingat tiada kulupa / kau ucapkan janji tuk setia / untuk hidup bersama / seia dan sekata // Kurasakan segalanya indah / dalam menjalin kasih mesra / betapa bahagia / bagai tiada akhirnya // ….

Andai rentetan lirik itu bisa berpahala sepadan dengan ayat-ayat Yasin atau kalimat-kalimat tayyibah lainnya, niscaya kudendangkan dengan suara lirih mendayu di pipih nisan pusaramu. Sebab syair-syair indah itulah yang selalu engkau nyanyikan di hari-hari dan jam-jam penghujung akhir hayat, dengan tebar senyum yang senantiasa kau kembangkan, meski nyatanya hanya menipu untuk mengobati kegalauan kami atas sakit yang ajunan derita.



Masih kuat teringat betapa saat-saat kami bersama, setelah seringai ayat Al Qur’an beliau senandungkan, setelah barisan ahzab beliau baca, setelah deretan nasihat penyejuk kalbu ia semaikan di dada ini, berulang almarhum lantunkan lagu itu dalam anjungan monoteologis. Dan kami pun “mabuk” dalam tetes air mata sembari deras mengundang Tuhan: Allah, Allah, Allah!

Deretan syair lagu bertitel “Ingkar Janji” itu memang sangat disukai oleh Kiai Fawaid. Utas liriknya yang mellowis menggugah setiap rasa. Tak heran jika si Raja Dangdut tak henti-hentinya menggelengkan kepalanya seraya bertepuk, saat lagu itu dihadiahkan oleh Kiai Fawaid untuknya, seminggu sebelum wafat. Rhoma lupa bahwa lagu itulah yang ia bawakan pada saat pertama kali masuk dapur rekaman. Tak heran (kabarnya) begitu mendengar berita Kiai Fawaid wafat, Rhoma mengunci diri di kamar selama tiga hari.

Apa yang mesti saya tumpahkan tentang sosok Kiai Fawaid, sang penerus Sunan Kalijogo dan Sunan Bonang itu? Apa yang harus saya gambarkan perihal figur pengagum Jalaluddin Rumi itu? Teramat banyak. Hingga tak mampu saya tarikan lewat jemari di atas keyboard computer.

Saya tak tahu mengapa di usia 22 tahun beliau harus menggantikan Kiai As’ad. Usia teramat belia untuk sebuah tanggung jawab besar. Mengapa pula hanya 22 tahun beliau mengasuh kami, santri dan umat. Masa yang teramat singkat bagi sebuah pergumulan. Saya juga tak tahu mengapa angka 22 ketika ditambahkan 22 menjadi 44, angka penutup usia beliau. Dan ketika diteruskan 4 + 4 = 8, angka genap prima yang bila dilihat dari sudut mana pun tetap 8, apakah sebuah gambaran konsistensi dan keistiqomahan beliau, saya juga tak tahu. (bandingkan dengan angka yang lain). Dan bila diteruskan: 4 – 4 menjadi 0, sebuah angka kematian.

Kiai, terima kasih telah engkau tanamkan pada kami jujur dan ikhlas terutama dalam mengabdikan diri kepada Allah lewat khidmah di pesantren dalam laku, semangat dan perhatian, meski ternyata kami belum bisa menirumu. Sebab angka-angka yang tertera di amplop masih sangat kami perhatikan, dahi mengernyit tatkala angka itu tak cocok dengan rupiah yang ada di dalamnya. Kami masih kerap mempersoalkan masalah kesejahteraan. Kami masih memperhitungkan dan mendewakan kerja kami sebagai jasa yang pantas dihargai seperti seorang pahlawan. Tangan kami sibuk menyepadankan jarih payah dengan angka kalkultor.

Murabbi, matur nuwun sanget karena jenengan telah ajarkan kami istiqamah. Kau tak pernah lengah dengan lembar-lembar Al Qur’an, shalat berjamaah, shalat Duha, shalat Tahajjud, di mana pun, kapan pun, dan dalam kondisi apapun. Meski baru setengah bahkan sejengkal yang mampu kami teladani. Kami masih merasa lebih bergengsi membaca koran dibanding Al Qur’an. Shalat berjamaah hanya karena biar terkesan baik. Shalat-shalat sunnah yang baru kami lakukan hanya karena menunggu shalat fardlu dimulai. Maafkan kami.

Kiai, betapa besar perhatianmu pada kami, hingga kau teladani kami sabar dan tabah meski perih terus menindih. Utas-utas senyummu yang senantiasa menyeringai dalam menghadapi berbagai ujian, cobaan, tantangan, caci-maki bahkan umpatan-umpatan liar membuat kami faham makna hikmah dibalik itu semua, meski nyatanya kami belum sanggup. Dada masih terbakar. Balas dendam masih terus mengintai. Amarah selalu saja membara tatkala kami hanya sekedar diejek dan diolok-olok. Ingin rasanya menebas leher mereka. Tak sepertimu. Maafkan kami.

Murabbi, terima kasih juga karena kau telah semangati kami dengan prinsip totalitas dan teguh dalam memegang prinsip kebenaran. Setiap masalah yang engkau hadapi tak pernah satu pun kau anggap remeh-temeh, bahkan hanya untuk sekadar mendengar celoteh tak penting. Kau total mengurusi santri dan tetek-bengeknya, kau total mengurusi umat, kau total urusi politik, bahkan kau total terjuni dunia seni. Sekali lagi, maafkan kami yang belum mampu mencontohmu. Hampir dalam segala hal kami hanya setenagh-setengah, penuh perhitungan dan pamrih yang nyata.

Entah mengapa, saat menyimak sejarah Yusuf as yang terfitnah kemudian terpenjara serta dizalimi dengan dibuang ke sumur tua oleh saudara-saudaranya sendiri, yang terbayang adalah sosokmu yang kerap teraniaya namun tak pernah terbersit niat untuk membalas, bahkan dengan seringai senyum, meski yang menzalimimu dari luar dan dalam, bertubi-tubi, bahkan hingga hari-hari terakhirmu.

Saat lembar-lembar kisah Daud as yang dengan kelembutannya mampu melelehkan baja, dengan kemerduannya mampu melemaskan besi, terasa engkau tengah “bernyanyi” dengan partitur dan ritme yang harmoni membelai kasih sahabat dan santri-santrimu. Sejuk dan mampu melenyapkan kagalauan hati. Alas lantai kumuh yang kami tiduri laksana spring bad American kw 1. Sarung kumal terasa seperti selimut Rose yang tebal. Itu karena senandung kasih sayangmu yang setiap malam engkau lantunkan.

Saat bagaimana Musa as terpaksa dibuang ke sungai oleh Maryam dan terkembara bersama arus sungai yang kuat dan dalam, harus berjuang keras agar selamat dari kejaran Fir’aun dan pasukannya, serasa dirimu yang berkelebat, mengembara melewati batu-batu terjal dan lembah-lembah curam demi menyelamatkan diri dari kezaliman “Pharao” bersurban dan pasukan yang setiap saat bisa meledakkan bom waktunya. Tanpa keinginan membalas seperti sekelumit doa pemusnah yang dipanjatkan Musa tatkala menenggelamkan Fir’aun.

Kami yakin engkau telah diangkat menjadi kekasih-Nya. Terlalu banyak tanda dan kepantasan untuk engkau duduki tempat itu. Tak hanya manusia, angin, dan langit pun turut berduka atas kepergianmu. Kami yakin engkau tengah bersila di kursi awliya’.

Aku juga yakin engkau tengah ceria di gazebo nirwana sana di atas sofa qawwali, sebab dari sini kulihat bidadari-bidadari surga tengah mengitarimu seraya mendendangkan kidung melo Al Badar.

0 komentar:

Posting Komentar

Share